Selasa, 14 Mei 2019

Makan Sahur Dan Keutamaannya

📚 Fawaid Pagi Hari ini :

*TENTANG MAKAN SAHUR & KEUTAMAANNYA*

_Saudaraku kaum muslimin rohimakumulloh.., ketahuilah._

Diantara adab yang juga harus selalu diperhatikan dan dijaga oleh orang yang berpuasa adalah *sahur atau makan sahur.*



Hal itu karena Nabi shollallohu ‘alaihi wa sallam telah bersabda :

تسحروا فإن في السحور بركة

_“Makan sahurlah kalian, karena sesungguhnya di dalam sahur itu terdapat barokah/keberkahan.”_

(HR *Imam Al-Bukhori* no. 1923 dan *Muslim* no. 1095, dari hadits Anas bin Malik rodhiyallohu ‘anhu)

Tentang *makna barokah* yang terdapat dalam makan sahur, dijelaskan oleh *Al-Imam Al-Hafidz Ibnu Hajar Al-Asqolani* rohimahulloh sbb :

_“Sesungguhnya keberkahan di dalam sahur itu bisa dicapai/diraih dari berbagai sisi, (diantaranya) yaitu : (1) mengikuti sunnah (mencontoh sunnah/tuntunan Nabi shollallohu ‘alaihi wa sallam, edt.), (2) untuk menyelisihi/membedakan diri dengan puasanya ahlul Kitab (Yahudi dan Nashoro, edt.),(3) untuk menguatkan ibadah, (4) untuk menambah semangat, (5) menolak atau menghindari munculnya akhlak yang jelek yang ditimbulkan karena lapar (seperti : keinginan untuk membatalkan puasa, dll), (6) merupakan sebab untuk bersedekah kepada orang yang minta-minta (yakni minta makan karena lapar), atau mengajaknya untuk makan bersama dengannya (sahur bersama), (7) merupakan sebab untuk banyak berdzikir dan berdoa di waktu yang diharapkan terkabulnya doa (karena waktu itu termasuk akhir-akhir malam, yang merupakan salah satu waktu dikabulkannya doa bagi yang mau berdoa, edt.), (8) untuk mendapatkan niat berpuasa, bagi orang yang lupa berniat sebelum dia tidur malam………”_

( *Fathul Bari, Syarh Shohih Al-Bukhori*, 4/164)

*Al-Imam Ibnu Daqiqil ‘Ied* rohimahulloh juga berkata :

_“Keberkahan ini, boleh jadi kembali kepada perkara-perkara ukhrowi (akhirat), karena dengan menegakkan/mengamalkan sunnah (tuntunan Rosululloh, khususnya makan sahur ini, edt.) akan diberi pahala dan tambahan (kebaikan yang banyak, edt.). Dan bisa jadi pula kembali kepada urusan-urusan dunia, seperti kuatnya badan untuk melakukan puasa, dan kemudahan lainnya tanpa adanya bahaya bagi orang yang berpuasa…”_

( *Fathul Bari, Syarh Shohih Al-Bukhori*, 4/164)        

Mengingat begitu besarnya keberkahan dalam sahur itu, maka *tidak selayaknya kita meninggalkannya.* Sebagaimana hal ini juga ditunjukkan dalam hadits sebagai berikut :

Salah seorang dari sahabat Nabi shollallohu ‘alaihi wa sallam pernah bercerita :

_“Aku pernah masuk (menjumpai) Nabi shollallohu ‘alaihi wa sallam, saat itu beliau sedangmakan sahur, lalu beliau bersabda :_

إنها بركة أعطاكم الله إياها فلا تدعوه

_“Sesungguhnya dia (sahur itu) barokah, yang Alloh telah memberikannya untuk kalian, karena itu janganlah kalian meninggalkannya.”_

(HR *Imam An-Nasa’i* (4/145), dishohihkan oleh Syaikh Al-‘Allamah Muqbil bin Hadi Al-Wadi’i rohimahulloh dalam *Al-Jami’us Shohih*, 2/422)

Bahkan Nabi shollallohu ‘alaihi wa sallam menjadikan makan sahur itu *sebagai pembeda antara puasa kita kaum muslimin dengan puasanya Ahlul Kitab* (orang-orang yahudi dan nashoro), sebagaimana dalam sabda beliau :

فصل ما بين صيامنا و صيام أهل الكتاب أكلة السحور

_“Pemisah/pembeda antara puasa kita dengan puasa Ahlul Kitab adalah makan sahur.”_

(HR *Imam Muslim* no. 1096, dari sahabat ‘Amru bin Al-Ash rodhiyallohu ‘anhu)

*LALU, APA HUKUMNYA MAKAN SAHUR ITU ?*

*Al-Imam An-Nawawi* rohimahulloh mengatakan :

_“Ibnul Mundzir rohimahulloh dalam Al-Isyrof mengatakan : “Umat Islam ini telah sepakat, bahwa *sahur itu hukumnya sunnah*, tidak ada dosa bagi orang yang meninggalkannya.”_

( *Al-Majmu’ Syarh Al-Muhadzdzab*, 6/360).

*Al-Imam Ibnu Qudamah* rohimahulloh juga menyatakan :

_“Kami tidak mengetahui adanya khilaf (perselisihan) di antara para ulama (yakni tentang sunnahnya hal tersebut).”_

( *Al-Mughni*, 3/54) Lihat juga *Fathul Bari, Syarh Shohih Al-Bukhori* (1922)

*KAPAN WAKTUNYA MAKAN SAHUR ITU ?*

Waktu makan sahur itu *disunnahkan untuk diakhirkan*, yakni beberapa saat menjelang datangnya waktu shubuh (terbitnya fajar shodiq di waktu shubuh tersebut).

Dalam hadits *Anas bin Malik* rodhiyallohu ‘anhu, dari *Zaid bin Tsabit* rodhiyallohu ‘anhu, dia bercerita :

_“Kami pernah sahur bersama Rosululloh shollallohu ‘alaihi wa sallam, kemudian kami sholat (yakni sholat Shubuh, edt.).” Saya (Anas bin Malik) bertanya : “Berpakah jarak antara waktu adzan dan sahur ?” Dia (Zaid) menjawab : *“Kira-kira lima puluh ayat* (yakni kira-kira selama orang membaca lima puluh ayat dari Al-Qur’an, kurang lebih 10-15 menit, wallohu a’lam, edt.).”_

(HR *Imam Al-Bukhori* no. 1921 dan *Muslim* no. 1097)

*Sahl bin Sa’ad* rodhiyallohu ‘anhu juga bercerita :

_“Aku pernah sahur di rumah keluargaku, kemudian aku cepat-cepat untuk mendapatkan sholat Shubuh bersama Nabi shollallohu ‘alaihi wa sallam.”_

(HR *Imam Al-Bukhori* no. 577)

Dari hadits-hadits tersebut di atas, para ulama menyimpulkan dan menyatakan *disunnahkannya untuk mengakhirkan makan sahur bagi orang yang hendak berpuasa* (yakni, hingga mendekai waktu Shubuh, bukan masih malam hari)

( *Al-Majmu’* (6/360), *Al-Mughni* (3/54), *Fathul Bari* (4/165) )

*DENGAN APAKAH MAKAN SAHUR ITU ?*

Para ulama, diantaranya *Al-Imam Ibnu Qudamah* dan *Al-Hafidz Ibnu Hajar Al-Asqolani* rohimahumalloh menegaskan :

_“Sahur itu sudah bisa terpenuhi dengan sesuatu yang sedikit, baik itu yang dimakan atau diminum oleh seseorang.” (tidak mesti dengan makan atau minum yang banyak, edt.)._

Hal itu ditunjukkan dalam sebuah hadits *Abu Sa’id Al-Khudri* rodhiyallohu ‘anhu secara marfu’, bahwa Rosululloh shollallohu ‘alaihi wa sallam bersabda :

السحور بركة فلا تدعوه ولو أن يجرع أحدكم جرعة من ماء فإن الله و ملاءكته يصلون على المتسحرين

_“Sahur itu barokah, karena itu janganlah kamu meninggalkannya (yakni tidak mau makan sahur), *meskipun salah seorang dari kamu (hanya sekedar) minum dengan seteguk air.* Kerena sesungguhnya Alloh dan para Malaikatnya bersholawat (yakni mendoakan kebaikan, edt.) kepada orang-orang yang makan sahur.”_

(HR *Imam Ahmad* dalam *Al-Musnad*, 3/12)

Tentang hadits tersebut, guru kami, *Syaikh Abu Abdillah Muhammad bin Ali bin Hizam* hafidzhohulloh mengatakan :

_“Tetapi di dalam sanad hadits ini ada Rifa’ah Abu Rifa’ah, dia ini keadaannya Majhul (tidak diketahui/tidak dikenal), juga di dalam hadits ini ada ‘an’anah Yahya bin Abi Katsir. Hadits tersebut juga mempunyai jalan-jalan yang lain di sisi Imam Ahmad (3/44), tetapi di dalam sanadnya ada Abdurrohman bin Zaid bin Aslam, dia ini disepakati akan kedho’ifannya._

_Akan tetapi lafadz hadits : “Sahur itu barokah”, mempunyai banyak penguat dan telah disebutkan sebagiannya di depan. Adapun lafadz : “meskipun salah seorang dari kamu (hanya sekedar) minum dengan seteguk air”, juga mempunyai penguat (yakni) hadits Abdullah bin ‘Amru bin Al-Ash rodhiyallohu ‘anhuma di sisi Ibnu Hibban (no. 3476), tetapi dalam sanadnya ada ‘Imron Al-Qoththon, yang rojih dia ini didho’ifkan. Adapun bagian akhir hadits tersebut : (“Kerena sesungguhnya Alloh dan para Malaikatnya bersholawat (yakni mendoakan kebaikan, edt.) kepada orang-orang yang makan sahur”), tidak aku temukan penguat yang bagus untuk menguatkan hadits tersebut. Sehingga (kesimpulannya), hadits ini HASAN tanpa bagian akhirnya.”_

( *Ithaaful Anam bi Ahkami wa Masaailis Shiyaam*, hal. 50-51)

Jadi, kalau seseorang hanya mampu sekedar minum seteguk air untuk sahur (baik karena tidak ada makanan atau karena waktu yang sempit atau karena sebab-sebab yang lainnya), maka hal itu sudah mencukupi. Tetapi bila seseorang mampu untuk makan sahur (dengan makanan apapun), maka hal itu lebih baik.

Sebagaimana kata *Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah* rohimahulloh :

_“Dan yang jelas, bahwa apabila (seseorang itu) mampu untuk makan, maka hal itu (lebih sesuai) dengan sunnah.”_

( *Kitabus Shiyaam*, 1/520-521)

(Lihat juga masalah ini dalam : *Al-Mughni* (3/55), *Fathul Bari* (no. 1922)

*MASALAH :* _“BILA SESEORANG SEDANG MAKAN SAHUR, LALU TERDENGAR SUARA ADZAN SHUBUH. APA YG HARUS DIA LAKUKAN, BOLEH MENERUSKAN MAKAN SAHURNYA, ATAUKAH DIA WAJIB MENGHENTIKANNYA ?”_

Masalah seperti ini pernah ditanyakan kepada guru kami yang mulia, *Asy-Syaikh Al-‘Allamah Abu Abdirrohman Yahya bin Ali Al-Hajuri* hafidzhohulloh Ta’ala, maka beliau menjawab sebagai berikut :

“Alloh Subhanahu wa Ta’ala berfirman dalam kitab-Nya yang mulia :

وَكُلُوا وَاشْرَبُوا حَتَّى يَتَبَيَّنَ لَكُمُ الْخَيْطُ الأبْيَضُ مِنَ الْخَيْطِ الأسْوَدِ مِنَ الْفَجْرِ ثُمَّ أَتِمُّوا الصِّيَامَ إِلَى اللَّيْلِ

_“Dan makan minumlah kamu hingga terang bagimu benang putih dari benang hitam, yaitu fajar. Kemudian sempurnakanlah puasa itu sampai (datang) malam.”_ (QS Al-Baqoroh : 187).

Dan di dalam *As-Shohihain*, dari hadits Adi bin Hatim rodhiyallohu ‘anhu dia berkata :

_“Ketika turun ayat : “Dan makan minumlah kamu hingga terang bagimu benang putih dari benang hitam, yaitu fajar. Kemudian sempurnakanlah puasa itu sampai (datang) malam”, maka aku mengambil dua buah benang (satu berwarna hitam dan satunya lagi berwarna putih, edt.), dan aku meletakkan keduanya di bawah kepalaku (ketika tidur malam, edt.). Kemudian aku melihat kepada keduanya hingga pagi hari, kemudian aku ceritakan hal itu kepada Rosululloh shollallohu ‘alaihi wa sallam, lalu beliau mengabarkan kepadaku (tentang pengertian yang benar dari ayat tersebut, edt.), lalu beliau bersabda :“Sesungguhnya bantalmu itu (wahai ‘Adi), benar-benar lebar…. ”_

(HR *Imam Al-Bukhori* no. 1916 dan *Muslim* no. 1090)

(Dari sini), kemudian jelaslah bagi Adi bin Hatim rodhiyallohu ‘anhu bahwa *yang dimaksud dengan benang putih dan benang hitam adalah putihnya siang dan kegelapan malam*. Benang putih adalah siang dan benang hitam adalah malam !

Di dalam *As-Shohihain* dari hadits Umar bin Al-Khoththob rodhiyallohu ‘anhu datang dengan (lafadz) seperti itu, kemudian juga hadits Abdullah bin Abi Aufa rodhiyallohu ‘anhuma, keduanya dalam *As-Shohihain*, Rosululloh shollallohu ‘alaihi wa sallam bersabda :

_“Apabila malam telah muncul dari arah sini – yakni dari arah timur, dan siang menghilang dari arah sini – yakni beliau mengisyaratkan arah barat, sungguh telah berbuka (yakni waktunya berbuka, edt.) bagi orang yang berpuasa.”_

Telah datang pula hadits dalam *As-Shohihain*, dari Nabi shollallohu ‘alaihi wa sallam bahwa beliau bersabda :

_“Makan dan minumlah kamu sampai (terdengar) Ibnu Ummi Maktum adzan, karena sesungguhnya tidaklah dia adzan (kecuali) sampai dikatakan kepadanya : “Telah datang shubuh, telah datang shubuh..”_

 (HR *Imam Al-Bukhori* no. 617 dan 622, dan *Muslim* no. 1092)

(yakni, Ibnu Ummi Maktum adzan apabila telah *benar-benar masuk waktu shubuh, yakni dengan tampaknya fajar shodiq*, edt.)

Beliau shollallohu ‘alaihi wa sallam juga bersabda :

_“Janganlah adzannya Bilal menghalangi kalian dari sahur kalian…”_

(HR *Imam Al-Bukhori* no. 621 dan *Muslim* no. 1093)

(yakni karena Bilal adzan ketika masih malam/adzan pertama sebelum masuk waktu shubuh, untuk membangunkan orang-orang yang masih tidur agar sholat lail atau segera makan sahur bagi yang akan berpuasa, edt.)

Maka berdasarkan hadits-hadits tersebut, apabila seorang mu’adzin telah adzan pada waktunya , atau seseorang telah benar-benar melihat terbitnya fajar shodiq (sebagai tanda telah masuk waktu shubuh), *maka wajib bagi dia untuk “imsak”(yakni menahan diri dari makan dan minumnya) secara langsung, meskipun bejana (yang berisi makanan atau minuman) masih ada di tangannya.*

Dia harus meninggalkan makanan dan minumannya tersebut, meskipun masih ada satu suap (makanan) di tangannya, dia harus meninggalkan (makanan atau minuman tersebut) dan tidak boleh memasukkan ke mulutnya, dan (dengan begitu) puasanya tetap sah.

Selanjutnya dalam masalah ini ada sebuah hadits :

إذا سمع أحدكم النداء والإناء على يده فليأخذ منه حاجته

_“Apabila salah seorang dari kalian mendengar adzan, sedangkan bejana (yang berisi makanan atau minuman) berada di tangannya, *maka (tetap) ambillah/selesaikan hajatnya.”* (maksudnya, tetap teruskan saja makan atau minumnya tersebut hingga selesai, edt.)_

Hadits ini dinyatakan *cacat (tidak shohih)* oleh Al-Imam Ibnu Abi Hatim rohimahulloh, dari bapaknya (sebagaimana disebutkan dalam kitab *‘Ilalul Hadits*, karya beliau) sebagai hadits yang mauquf pada Abu Huroiroh saja.

Hadits ini tidak tsabit dari Nabi shollallohu ‘alaihi wa sallam. Karena itu tidak layak/tidak pantas dipertentangkan dengan dalil-dalil dari Al-Qur’an dan As-Sunnah yang menunjukkan atas wajibnya bagi orang yang berpuasa untuk berhenti dari makan dan minum serta apa saja yang bisa membatalkan puasa, apabila fajar telah terbit (telah tiba waktu shubuh).”

Wallohu a’lamu bis showab.

(lihat kitab *Ithaful Kirom bi Ajwibati Ahkami Az-Zakati Wal Hajji Was Shiyam* (hal. 343-344), karya guru kami, As-Syaikh Al-‘Allamah Yahya bin Ali Al-Hajuri hafidzhohulloh)

Guru kami yang lainnya, yakni *As-Syaikh Abu Abdillah Muhammad bin Ali bin Hizam* hafidzhohulloh juga menyatakan :

_“Apabila seorang mu’adzin tidaklah adzan kecuali apabila dia benar-benar yakin telah terbit fajar (yakni masuk waktu shubuh), maka wajib (bagi orang yang akan berpuasa) untuk imsak (menahan diri dari makan dan minum dan semua perkara yang membatalkan puasa, edt.), karena sabda Nabi shollallohu ‘alaihi wa sallam :_

_“Makan dan minumlah kamu sampai Ibnu Ummi Maktum adzan….”_

(HR *Imam Al-Bukhori* no. 617 dan 622, dan *Muslim* no. 1092).

Bila seorang mu’adzin adzan tetapi dia tidak yakin atau belum yakin terbitnya fajar (yakni ragu-ragu telah masuk waktu shubuh atau belum), maka boleh bagi dia (atau orang yang masih sahur lainnya, edt.) untuk makan sampai selesai, selama belum yakin (telah masuk waktu shubuh yang sebenarnya). Karena hukum asalnya adalah tetap masih malam, sedangkan Alloh Subhanahu wa Ta’ala berfirman :

وَكُلُوا وَاشْرَبُوا حَتَّى يَتَبَيَّنَ لَكُمُ الْخَيْطُ الأبْيَضُ مِنَ الْخَيْطِ الأسْوَدِ مِنَ الْفَجْرِ ثُمَّ أَتِمُّوا الصِّيَامَ إِلَى اللَّيْلِ

_“Dan makan minumlah kamu hingga terang bagimu benang putih dari benang hitam, yaitu fajar. Kemudian sempurnakanlah puasa itu sampai (datang) malam.”_ (QS Al-Baqoroh : 187).

Tetapi, yang lebih utama dan untuk lebih berhati-hati adalah *hendaknya imsak (menahan diri dari makan dan minum dll), dalam rangka untuk Ihthiyath (berhati-hati dan menjaga) agama ini.* Karena Nabi shollallohu ‘alaihi wa sallam bersabda :

_“Tinggalkan apa yang meragukanmu kepada apa yang tidak meragukanmu…”_

(HR *Imam At-Tirmidzi* no. 2518, *An-Nasa’i* (8/327), dan *Imam Ahmad* (1/200), dari hadits Al-Hasan bin Ali rodhiyallohu ‘anhuma, sanadnya shohih)

Ini adalah pendapat jumhur ulama terdahulu, dan dengan pendapat ini pula para ulama masa kini berfatwa, seperti *Samahatus Syaikh Ibnu Baaz*, *Asy-Syaikh Ibnu Utsaimin*, dan *Asy-Syaikh Muqbil bin Hadi Al-Wadi’I* rohimahumulloh. Kemudian aku juga melihat Syaikhul Islam berfatwa seperti itu juga.

(lihat : *Fatawa Romadhon* (1/201-203), *Majmu’ Al-Fatawa* (25/216), karya Syaikhul Islam rohimahulloh)

(Lihat : *Ithaful Anam bi Ahkami wa Masailis Shiyaam* (hal. 53-54), karya guru kami tersebut di atas).

Semoga pembahasan yang ringkas ini bermanfaat untuk penulisnya, dan juga untuk seluruh kaum muslimin di mana saja, walhamdu lillahi robbil ‘aalamiin.

*Surabaya*, Jum'at pagi yg sejuk, 5 Romadhon 1440 H / 10 Mei 2019 M

✍ Akhukum fillah, *Abu Abdirrohman Yoyok WN Sby*

Silahkan joint pada channel telegram kami :

https://t.me/joinchat/AAAAAFFt2cVSmpS0g2Gsvw

Semoga bermanfaat bagi kita semuanya.