Rabu, 15 Mei 2019

Hukum Berkumur-kumur Dan Menghirup Air Selain Sedang Wudhu Bagi Oranh Yang Berpuasa

📚 Fawaid Pagi Hari ini :

*HUKUM TENTANG BERKUMUR-KUMUR DAN MENGHIRUP AIR KE DALAM HIDUNG KETIKA BERWUDHU & SELAIN BERWUDHU BAGI ORANG YANG SEDANG BERPUASA. DAN HUKUM MENCIUM ATAU MENCUMBUI ISTRI KETIKA SEDANG BERPUASA.*



*Masalah (1) :* _“Ada orang yang “madmadhoh” (berkumur-kumur) atau “istinsyaq” (memasukkan air ke dalam hidung) ketika wudhu, tetapi airnya berlebihan, sehingga tertelan airnya atau masuk ke tenggorokan tanpa sengaja, apakah hal ini membatalkan wudhu ?”_

Tentang masalah ini, Imam Ahmad, Ishaq bin Rohawaih dan Abu Tsaur berpendapat bahwa *hal itu tidak membatalkan puasa.*

Hal ini juga pendapatnya Al-Hasan Al-Bashri, dan dirojihkan oleh Ibnu Hazm rohimahulloh.

Dalil mereka adalah firman Alloh Ta’ala :

وَلَيۡسَ عَلَيۡكُمۡ جُنَاحٞ فِيمَآ أَخۡطَأۡتُم بِهِۦ وَلَٰكِن مَّا تَعَمَّدَتۡ قُلُوبُكُمۡۚ ٥

_“Dan tidak ada dosa atasmu terhadap apa yang kamu khilaf (tersalah) padanya, tetapi (yang ada dosanya) apa yang disengaja oleh hatimu. Dan adalah Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.”_ (QS Al-Ahzab : 5)

Juga berdasarkan sabda Rosululloh shollallohu ‘alaihi wa sallam :

إن الله تجاوز عن أمتي الخطأ والنسيان

_“Sesungguhnya Alloh memaafkan (perbuatan yang dilakukan karena) tersalah atau lupa dari ummatku.”_

Ini adalah pendapat yang nampak dirojihkan oleh *Al-Imam Al-Bukhori*, dan juga *As-Syaikh Muhammad bin Sholih Al-Utsaimin* rohimahumalloh.

Dan insya Alloh inilah pendapat yang rojih (kuat dan terpilih).

Tetapi Imam Malik dan Abu Hanifah berpendapat *batalnya puasa orang tersebut secara mutlak.*

Al-Marwadi rohimahulloh berkata :

_“Ini adalah pendapat kebanyakan para fuqoha’, akan tetapi Abu Hanifah memberikan syarat, yakni jika orang tersebut ingat akan puasanya (yakni dia sadar kalau dirinya sedang berpuasa, edt.).”_

Mereka berdalil untuk menunjukkan batalnya puasanya orang tersebut, dengan hadits *Laqith bin Shobiroh* rodhiyallohu ‘anhu, bahwa Nabi shollallohu ‘alaihi wa sallam bersabda :

وبالغ في الاستنشاق إلا أن تكون صائما

_“Dan bersungguh-sungguhlah dalam  ber-istinsyaq (menghirup air ke dalam hidung ketika wudhu), kecuali kamu dalam keadaan berpuasa.”_

(HR *Abu Dawud* no. 142 dan *At-Tirmidzi* no. 788, sanadnya shohih)

*Bantahan :*

Sebenarnya, tidak ada hujjah (dalil yang kuat) bagi mereka dengan menggunakan hadits ini.

Sesungguhnya tujuan utama hadits ini hanyalah menjelaskan, *bahwa orang yang sedang berpuasa itu tidak diperintahkan untuk bersungguh-sungguh atau berlebihan (dalam beristinsyaq),* bukan untuk menunjukkan bahwa kalau dia bersungguh-sungguh dalam beristinsyaq kemudian airnya masuk ke dalam hidung tanpa disengaja, lalu hal itu membatalkan puasanya.

Akan tetapi (yang benar dari maksud/tujuan disampaikannya hadits ini adalah) *sepantasnya bagi dia untuk tidak berlebih-lebihan/terlalu (dalam beristinsyaq), dikarenakan berlebihan/keterlaluan dalam beristinsyaq akan menjadi sebab masuknya air tersebut ke dalam tenggorokan.*

Wallohu a’lamu bis showab.

(lihat : *Al-Majmu’ Syarh Al-Muhadzdzab* (6/326-327), *Al-Muhalla* (no. 753), *Fathul Bari Syarh Shohih Al-Bukhori* (no. 1933) dan *As-Syarhul Mumti’* (6/406-407) )
 
*Masalah (2) :* _“Apa Hukumnya Mencium dan Mencumbui Istri Bagi Orang Yang Berpuasa ?”_

Dalam permasalahan ini ada beberapa pendapat para ulama sebagai berikut :

*Pertama :* Pendapat yang mengatakan : *“Dibenci (Makruh) secara mutlak.”*

Ini adalah pendapat yang masyhur menurut para ulama Malikiyyah (pengikut madzhab Imam Malik).

*Kedua :* Pendapat yang mengatakan : *“Diharamkan.”* (Sebagaimana dinukilkan hal ini oleh Ibnul Mundzir rohimahulloh).

Sebagian lainnya berpendapat : *“Batal puasanya.”*

Ini adalah pendapat Abdulloh bin Syubromah, dan diriwayatkan juga dari Sa’id bin Al-Musayyab.

*Ketiga :* Pendapat yang mengatakan : *“Bolehnya hal tersebut.”*

Ini adalah pendapat yang dinukil secara shohih dari Abu Huroiroh rodhiyallohu ‘anhu (sebagaimana dikeluarkan haditsnya oleh *Ibnu Abi Syaibah* (3/60) dengan sanad yang shohih.”

Berpendapat seperti itu pula Sa’ad bin Abi Waqqosh rodhiyallohu ‘anhu, sebagaimana diriwayatkan oleh Al-Imam Abdurrozzaq dalam *Al-Mushonnaf* (4/185), dari jalan Zaid bin Aslam secara munqothi’ (terputus sanadnya), karena Zaid tidak pernah mendengar dari Sa’ad bin Abi Waqqosh, seperti disebutkan dalam Jami’ut Tahshil.

Tetapi *Ibnu Hazm* rohimahulloh mengatakan dalam *Al-Muhalla* :

_“Dan dikeluarkan riwayat ini dari jalan yang shohih, dari Sa’ad bin Abi Waqqosh….”_

Kemudian beliau berlebih-lebihan dalam masalah ini, sampai-sampai beliau berpendapat bahwa *hal itu (yakni mencium atau mencumbui istri bagi orang yang berpuasa) adalah “disunnahkan.”*

*Kelima :* Pendapat yang mengatakan : *“Dimakruhkan (dibenci) bagi pemuda, dan dibolehkan bagi orang yang yang sudah tua.”*

Mereka berdalil dengan hadits dari Abu Huroiroh rodhiyallohu ‘anhu :

_“Bahwa ada seorang laki-laki mendatangi Nabi shollallohu ‘alaihi wa sallam, lalu bertanya kepada beliau tentang “bercumbu” bagi orang yang sedang berpuasa. Maka beliau memberi rukhshoh (keringanan/kebolehan) kepadanya. Kemudian datang lagi laki-laki yang lainnya, lalu dia bertanya hal yang sama, tetapi beliau melarangnya (tidak memberi ijin kepadanya). Maka yang diberi rukhshoh tadi adalah orang tua, sedangkan yang dilarang adalah orang yang masih muda.”_

(HR *Abu Dawud* no. 2387, sanadnya shohih)

Sebagian ulama mengatakan, bahwa hadits tersebut ada ‘illah-nya (cacatnya), yakni pada Abul Anbas Al-Harits bin Ubaid, mereka mengatakan : “Dia adalah rowi yang majhul (tidak dikenal keadaannya).”

Yang benar, bahwa dia adalah rowi yang tsiqoh (terpercaya). Dan dia ini dinyatakan tsiqoh oleh *Ibnu Ma’in* sebagaimana dalam *Tarikh Ad-Darimi.*

*Kelima :* Pendapat yang mengatakan : *“Bagi orang yang mampu menahan nafsunya, boleh baginya melakukannya (yakni mencium atau mencumbui istrinya). Tetapi bagi yang tidak mampu menahan nafsunya, maka tidak boleh baginya."*

Ini adalah pendapatnya *As-Syafi’i* dan *Ats-Tsauri* rohimahumalloh.

Dan inilah pendapat yang insya Alloh shohih (benar).

Dalil yang menunjukkan hal itu, adalah hadits *Aisyah* rodhiyallohu ‘anha, dia berkata :

كا ن النبي صلى الله عليه وسلم يقبل وهو صائم ولكنه كا ن أملككم لإربه

_“Nabi shollallohu ‘alaihi wa sallam pernah mencium istrinya, dalam keadaan beliau berpuasa. Akan tetapi, beliau adalah orang yang paling mampu menahan nafsunya diantara kalian.”_

(HR *Imam Al-Bukhori* no. 1927 dan *Muslim* no. 1106)

Maka makna hadits ini adalah : _"bagi orang yang tidak mampu menahan nafsunya, hendaknya dia tidak mencium istrinya dan tidak mencumbuinya, sebagai bentuk kehati-hatian dan pencegahan, agar tidak terjatuh pada perkara yang harom."_

Dalil lainnya yang menunjukkan hal itu adalah sebagaimana yang diisyaratkan pada hadits yang dijadikan dalil pendapat yang keempat di atas.

Jadi, *pendapat yang rojih (kuat dan terpilih) dalam masalah ini adalah pendapat yang terakhir (kelima),* insya Alloh.

Bantahan terhadap masing-masing pendapat di atas (untuk pendapat pertama hingga keempat) :

Adapun pendapat yang pertama, yang mengatakan dimakruhkan/dibenci secara mutlak, *terbantahkan oleh hadits Aisyah* tersebut di atas, dan juga *hadits Hafshoh dan Ummu Salamah* rodhiyallohu ‘anha, yang menjelaskan Rosululloh shollallohu ‘alaihi wa sallam *pernah mencium istri-istrinya, dalam keadaan beliau berpuasa.*

(lihat *HR Imam Muslim* no. 1107-1108)

Adapun anggapan, bahwa hal itu merupakan kekhususan bagi Rosululloh shollallohu ‘alaihi wa sallam sebagaimana disebutkan pada hadits-hadits di atas, hal ini perlu bukti-bukti yang jelas.

Padahal, disana ada riwayat lainnya yang tsabit yang menjelaskan bahwa ada seorang laki-laki dari Anshor yang telah mencium istrinya pada jaman Nabi shollallohu ‘alaihi wa sallam, lalu dia menyuruh istrinya untuk bertanya kepada Nabi tentang hal tersebut. Maka Nabi bersabda kepadanya :

_“Sesungguhnya Rosululloh shollallohu ‘alaihi wa sallam telah melakukan hal itu.”_

Lalu istrinya tersebut mengabarkan kepada suaminya (tentang apa yang dikatakan oleh Nabi), maka suaminya tersebut berkata kepadanya : _“Sesungguhnya Nabi shollallohu ‘alaihi wa sallam diberi rukhshoh (keringanan/kebolehan secara khusus) pada berbagai perkara. Maka kembalilah lagi kepada beliau (untuk bertanya lagi).”_

Maka istrinya pun kembali lagi kepada Nabi, dan menceritakan apa yang dikatakan oleh suaminya tersebut, maka Nabi shollallohu ‘alaihi wa sallam lalu bersabda :

أنا أتقاكم وأعلمكم بحدود الله

_“Aku adalah orang yang paling takut kepada Alloh diantara kalian dan paling mengetahui hukum-hukum Alloh.”_

(HR *Imam Ahmad* dalam *Al-Musnad* (5/434), dishohihkan oleh As-Syaikh Muqbil bin Hadi Al-Wadi’i rohimahulloh dalam *As-Shohihul Musnad* no. 1658)

Diriwayatkan pula oleh *Imam Muslim* dalam *Shohih*-nya (no. 1108) :

_“Bahwa Umar bin Abi Salamah rodhiyallohu ‘anhu (anak tiri Rosululloh dari istri beliau, Ummu Salamah rodhiyallohu ‘anha, edt.) bertanya kepada Rosululloh shollallohu ‘alaihi wa sallam : “Bolehkah orang yang berpuasa itu mencium istrinya ?”

Maka Rosululloh shollallohu ‘alaihi wa sallam berkata kepadanya :

_“Bertanyalah kamu kepada ini (yakni Ummu Salamah, ibunya Umar itu sendiri).”_

Lalu Ummu Salamah mengabarkan/memberitahukan kepadanya, bahwa *Rosululloh shollallohu ‘alaihi wa sallam telah melakukan hal itu.*

Lalu Umar berkata kepada Rosululloh shollallohu ‘alaihi wa sallam :

_“Wahai Rosululloh, sungguh Alloh Ta’ala telah mengampuni dosa-dosa Anda, baik yang terdahulu maupun yang akan datang.”_

Lalu Rosululloh shollallohu ‘alaihi wa sallam bersabda :

أما والله إني لأتقاكم لله وأخشاكم

_“Adapun aku, demi Alloh, sesungguhnya aku adalah orang yang paling bertaqwa kepada Alloh diantara kalian dan paling takut kepada-Nya.”_

Kemudian, bantahan untuk *pendapat kedua* yang mengharamkan hal tersebut, maka terbantah pula dengan dalil-dalil yang telah dipaparkan di atas.

Adapun dalil mereka dengan firman Alloh :

فَٱلۡـَٰٔنَ بَٰشِرُوهُنَّ وَٱبۡتَغُواْ مَا كَتَبَ ٱللَّهُ لَكُمۡۚ ١٨٧

_“Maka sekarang (yakni pada malam hari Romadhon, edt.) pergaulilah mereka dan carilah apa yang telah Alloh tetapkan untuk kalian…”_ (QS Al-Baqoroh : 187)

Yakni mereka menjadikan ayat ini untuk menetapkan, *bahwa mubasyaroh (mempergauli istri, termasuk dalam dalam ini mencumbui dan menciumi istri) hanyalah boleh dilakukan di malam hari saja.*

Jawabannya adalah : Rosululloh shollallohu ‘alaihi wa sallam adalah orang yang paling tahu tentang Al-Qur’an, dan beliau diutus sebagai penjelas/penafsir dari Al-Qur’an tersebut. Dan kenyataannya, *beliau telah membolehkan mencium atau mencumbui istri bagi orang yang sedang berpuasa di siang hari Romadhon (sebagaimana dijelaskan pada hadits-hadits tersebut di atas).*

Dari sini bisa diketahui, bahwa yang dimaksud dengan *mubasyaroh* (mempergauli istri) pada ayat tersebut di atas adalah *al-jima’ (berhubungan badan antara suami istri),* bukan makna yang lainnya. Wallohu a’lamu bis showab.  

Adapun *pendapat keempat,* yang mengatakan bahwa hal itu dibenci bagi orang yang masih muda, dan dibolehkan bagi orang yang sudah tua.

Maka hal ini tidak bisa ditetapkan secara umum. Mengapa ? Ya, karena keadaan pada manusia itu berbeda-beda.

Terkadang justru sebaliknya, bahwa orang yang sudah tua, ada yang syahwatnya itu lebih besar daripada orang yang masih muda. Demikian pula sebaliknya.

Maka hal itu menunjukkan, bahwa ketentuan tersebut (yakni yang hanya membolehkan mencium dan mencumbui istri hanya bagi orang yang sudah tua saja, dan dilarang bagi orang yang masih muda, edt.), ini *tidak bisa dianggap.*

Justru hadits *Umar bin Abi Salamah* rodhiyallohu ‘anhuma yang telah disebutkan di atas menunjukkan, bahwa yang perlu diperhatikan disini adalah, *pengaruh/dampak/akibat dari mencumbui dan mencium istri itu, menyeretnya pada perbuatan yang harom ataukah tidak*. Jika tidak, maka hal itu tidak mengapa, wallohu a’lamu bis showab.

*Kesimpulannya :* _mempergauli istri (mencumbuinya dan menciumnya) adalah *boleh bagi seseorang yang mampu menahan syahwatnya* dari terjatuh pada perbuatan yang diharamkan ketika berpuasa. Adapun bagi yang merasa tidak mampu menahan syahwatnya, maka hendaknya dia menjauhi hal tersebut, agar tidak terjatuh pada perbuatan yang harom, sehingga bisa membatalkan puasanya._

Wallohu a’lam bis showab.

(lihat : *Fathul Bari Syarh Shohih Al-Bukhori* (no. 1927), *Subulus Salam* (4/128-129), *Al-Muhalla* (no. 753), *Al-Majmu’ Syarh Al-Muhadzdzab* (6/355) )

Demikian pembahasan yg ringkas ini, semoga bermanfaat bagi seluruh kaum Muslimin....barokallohu fiikum....

*Surabaya*, Kamis pagi yg sejuk, 11 Romadhon 1440 H / 16 Mei 2019 M

✍ Akhukum fillah, *Abu Abdirrohman Yoyok WN Sby*

Silahkan joint pada channel telegram kami :

https://t.me/joinchat/AAAAAFFt2cVSmpS0g2Gsvw

Semoga bermanfaat bagi kita semuanya.